Menerima Kesedihan Secara Utuh
- Holinessa
- May 14, 2023
- 7 min read

Saat aku berusia dua belas tahun, ayahku mengajak aku, ibuku, dan kakak perempuanku pergi ke luar kota untuk menemaninya selama beliau memandu turis Belanda yang akan mengunjungi kota Bandung, kota Yogyakarta, dan kota Bali. Mendengar ajakannya, aku merasa sangat senang dan bersemangat karena aku akan menghabiskan liburan sekolah selama dua minggu dengan berjalan-jalan.
Rasa senang dan bersemangat yang kurasakan secara otomatis terekspresikan melalui perilakuku yang bernyanyi lagu-lagu ceria di setiap aktivitasku. Melihat anak terakhirnya sangat senang dan bernyanyi terus-menerus, ibuku berkata; “Jangan terlalu senang nanti bisa terlalu sedih.” Setelah mendengar perkataan beliau rasanya seperti sebuah larangan yang penuh makna. Rasanya aku takut tertimpa bala pada saat itu, karena aku masih sangat mempercayai kepercayaan yang berada di masyarakat, ditambah lagi, pada saat usiaku dua belas tahun, kemampuan otakku belum sepenuhnya bekerja secara maksimal untuk menganalisis dan mempertanyakan, “Kenapa?”. Sejak hari itu, perkataan ibuku selalu terngiang-ngiang di kepalaku dan menjadi sebuah alarm yang secara otomatis berdering apabila aku merasa senang.
Setelah aku bertambah usia dan memasuki usia remaja, aku pernah bertanya kepada ibuku. “Kenapa aku tidak boleh terlalu senang?” Beliau menjelaskan bahwa perkataannya dilatarbelakangi oleh pengalaman pribadinya sendiri, dimana suatu hari ibuku merasa sangat senang namun tidak dapat menjelaskan apa yang membuatnya merasa sangat senang. Tidak cukup lama kesenangan yang dirasakannya harus berganti ke perasaan. Seperti seorang pepatah pernah mengatakan, “panas seribu tahun terhapus oleh hujan satu hari,” Ibuku mendapati kenyataan bahwa ayahnya yakni kakekku telah meninggal dunia.
Mengingat hal tersebut di waktu sekarang, ibuku telah mengajarkanku pelajaran yang sangat berharga terkait dengan kehidupan yang mungkin tidak akan didapatkan di bangku pendidikan formal. Bukan terkait dengan seberapa rasa bahagia atau rasa sedihnya yang ingin ku sampaikan kepada kalian melainkan pelajaran yang sangat berharga itu adalah akan ada kesenangan dan akan ada kesedihan. Sebaliknya, akan ada kesedihan dan akan ada kesenangan.
Berkaitan dengan kesedihan dan kesenangan yang aku bahas dalam tulisan ini, terinspirasi dari tulisan Susan Cain di dalam bukunya yang berjudul Bittersweet. Bittersweet tidak hanya diartikan pahit dan manis melainkan Bittersweet adalah suka duka atau menemukan kebahagiaan melalui kesedihan. Di dalam bukunya, Cain membahas Bittersweet mulai dari kerinduan, empat elemen dasar di dalam diri manusia, alasan kenapa kita merasakan apa yang orang lain rasakan, empati yang berkaitan dengan saraf vagus, alasan mendengarkan lagu-lagu sedih, patah hati, menerima kesedihan sepenuhnya, merelakan untuk kehilangan, immoralitas, dan kaitan antara kesedihan yang diwariskan.

Dari seluruh topik yang disampaikan di dalam bukunya, ada satu topik yang membuatku tertarik dan menaruh perhatian lebih yakni, “Kenapa susah untuk sepenuhnya menerima kesedihan?” Pertanyaan singkat ini merangsang sel-sel yang ada di otakku yang cukup kusut untuk mulai berpikir kembali dan mencoba menjawab pertanyaan tersebut melalui diriku sendiri.
Hal yang pertama aku sadari adalah adanya ketidaksamaan perhatian yang aku berikan antara kesenangan dan kesedihan. Jika aku sedikit mengulang momen dimana aku merasa penasaran dengan penjelasan, “Kenapa aku tidak boleh terlalu merasa senang?” Tetapi aku tidak menanyakan, “Kenapa aku tidak boleh terlalu merasa sedih?”
Hidup ini sama seperti sebuah koin yang memiliki dua sisi yakni di satu sisi ada angka dan di sisi lainnya ada gambar. Aku memahami bahwasanya kesedihan dan kesenangan tidak dapat dipisahkan namun, keduanya berlawanan. Ketika aku merasa senang cenderung berharap perasaan tersebut akan bertahan lama, tetapi ternyata perasaan tersebut berlalu dengan sangat cepat. Aku mengamati bahwasanya ketika merasa senang, otak akan lebih fokus untuk menikmati dan menjalani apa yang terjadi pada saat itu.
Sebaliknya, dulu ketika aku merasa sedih, aku cenderung berharap perasaan tersebut tidak akan bertahan lama, nyatanya perasaan sedih cenderung bertahan lama. Aku mengamati bahwa perasaan sedih membuatku tidak nyaman hingga berujung membuatku tidak menikmati hari-hari yang kujalani. Membaca penjelasanku ini, mungkin tidak sedikit dari kalian akan memberikan pernyataan; memangnya siapa yang mau merasa sedih terus-menerus? Tentu benar. Tidak ada yang ingin bertahan lama dalam kesedihan yang kita rasakan. Seperti yang sering dikatakan; “Life must go on atau hidup harus terus berjalan.” Tetapi, apakah kalian pernah bertanya kepada diri kalian sendiri, apakah aku memberikan perhatianku secara sama antara rasa sedih dan rasa senang yang kurasakan?
Kedua, berangkat dari pengalamanku sendiri, memandang kesedihan adalah suatu kelemahan. Kesedihan dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah menangis. Dulu, aku sering menangis secara tiba-tiba tanpa tahu penyebabnya. Mendapati kenyataan aku menangis secara spontan, aku langsung mengelap air mataku dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Tidak hanya itu, ketika aku memang merasa sedih akan suatu hal yang terjadi padaku, aku akan secepatnya meyakinkan diriku bahwa aku baik-baik saja.
Adanya denial atau menyangkal dengan apa yang aku rasakan sebenarnya. Aku tidak jujur dan berterus terang dengan diriku sendiri terkait dengan apa yang aku rasakan. Mungkin akan ada yang berkata terlalu berlebihan atau seharusnya memberikan energi positif dengan mengatakan baik-baik saja. Berkaitan dengan hal tersebut, mungkin akan menjadi penjelasan kenapa seharusnya perasaan sedih yang kita rasakan tidak disangkal oleh diri kita sendiri.
Seorang psikiater pernah berbincang denganku. Beliau memproyeksikan bahwa diri kita adalah sebuah gelas. Permasalahan yang kita hadapi adalah air. Semakin banyak kita tuang air tersebut ke dalam gelas tanpa kita mengosongkannya terlebih dahulu, maka semakin terisi pula gelas tersebut sampai penuh. Semakin kita tuang air tersebut, apa yang akan terjadi? Air tersebut tumpah karena gelas tidak dapat menampung volume yang dimiliki.
Alan De Botton dalam pembahasannya terkait dengan cinta menjelaskan bahwa ketika kita cinta dengan seseorang maka, sebaiknya kita harus mencintai diri kita terlebih dahulu. Berbicara manis dengan pasangan kita sama seperti kita berbicara dengan anak kecil. Tentunya berbicara dengan diri kita sendiri pun harus baik-baik dan memahami bahwa di dalam hubungan hidup akan selalu tentang belajar dan mengajar.
Penjelasan sebelumnya menjadi jawaban untuk kita tidak menyangkalkan perasaan sedih, memulai untuk merangkul diri kita sendiri dan mengatakan tidak apa-apa untuk bersedih. Selain penyangkalan, terburu-buru untuk pulih menurutku adalah salah satu kesalahan. Dopamin sangat erat dan dibutuhkan saat merasa sedih. Jika kalian belum tahu, dopamin adalah zat kimia di dalam otak yang berperan besar dalam mempengaruhi emosi, sensasi kesenangan hingga rasa sakit yang bisa dirasakan seseorang[1]. Singkatnya adalah untuk mempercepat mengurangi rasa sakit atau rasa sedih yang dirasakan maka kita butuh dopamin. Dopamin dapat dihasilkan dengan cara yang berbeda-beda.
Selain itu, mind trick atau trik fikiran juga dibutuhkan. Pada saat aku belajar Filsafat hukum sewaktu aku duduk di bangku kuliah, dosen Filsafatku mengatakan bahwa tidak akan mudah memiliki perasaan dan pikiran yang selaras. Pikiran kita yang datang dari otak adalah hal paling tidak murni yang kita miliki. Kenapa? Karena telah bercampur dengan asumsi, pengalaman, dan juga pandangan. Itulah kenapa, Dokter Daniel Amen menyarankan; “Jika ada Automatically Negative Thoughts atau pemikiran negatif maka kita harus bertanya kembali apakah benar begitu?” Kembali ke mind trick, kita dapat melatih otak dan tentunya otak akan memberikan respons sesuai dengan apa yang telah kita latih. Jika kita memukul secara pelan dan meyakinkan kepada otak kita bahwa ini tidak sakit, secara berulang-ulang kali maka otak akan memberikan respons bahwa pengulangan pukulan yang secara ringan di tempat yang sama dengan benda yang sama akan memberikan respons tidak sakit.
Berangkat dari salah satu cerita teman baikku yang harus berpisah dengan kekasih yang telah dikencaninya selama satu tahun. Ia merasa sangat sedih. Alih-alih untuk menerima kenyataan mereka tidak bersama, mencoba untuk memiliki waktu sendiri di tengah-tengah masa berdukanya, ia memilih jalan lain. Ia memutuskan untuk memulai hubungan baru dengan seseorang satu minggu setelah berpisah. Pada akhirnya temanku berpacaran dengan lelaki yang baru dikenalnya selama tiga minggu. Aku berharap cerita tersebut akan berakhir dengan baik, ternyata hubungan tersebut tidak bertahan lebih dari dua minggu. Lantas bagaimana dengan temanku? Keadaannya lebih buruk dibandingkan pada saat ia berpisah dengan kekasihnya yang satu tahun. Ia merasa gagal dan adanya pengulangan kesalahan dari sebelumnya. Memang tidak semua akan berakhir dengan kisah yang dialami oleh temanku. Aku adalah salah satu yang berakhir sama dengan kisah temanku. Memiliki hubungan kembali setelah patah hati dan bersedih memang menyenangkan dan berharap dapat terobati, namun pilihan tersebut tidaklah bijak, tidak hanya dalam aspek hubungan, di dalam aspek apapun. Seharusnya aku bisa untuk membiarkan diriku merasa sedih, menerima kenyataan dan pulih seutuhnya tanpa harus dibantu oleh orang lain.
Ketiga, kesedihan memberikanku pelajaran. Kesedihan mengajarkan menjadi manusia yang tidak utuh, normal, dan tidak sempurna. Perasaan sedih memberikanku waktu yang tepat untuk duduk, mencoba merefleksikan apa yang telah dilakukan, dan mencoba belajar serta menerima kenyataan. Sama seperti Emma Gibbs, ia berbagi pengalamannya dalam acara TEDXSouthBankWomen terkait dengan patah hati. Ia menggambarkan dirinya adalah seorang pekerja keras, memiliki gambaran yang jelas dengan apa yang ia inginkan dengan karier dan hidupnya. Ia juga sama menyangkal apa yang ia rasakan karena hal itu terlihat mulai dari menghindari konflik yang terjadi antara ia dan pasangannya atau ia dan rekan kerjanya. Penyangkalan dan pengorbanan perasaannya tentunya semata-mata hanya ia dedikasikan kepada tujuan lurus terkait dengan karier dan kehidupannya. Ia berterus terang mengorbankan waktu dan membatasi apa yang ia ingin lakukan. Namun, semua tidak berjalan baik, karena ia harus berpisah dengan pacarnya dengan alasan pacarnya tidak mengupayakan untuk bertemu dengannya di negara lain. Secara singkat Emma dan pacarnya menjalani hubungan jarak jauh. Setiap ada kesempatan, Emma mengunjungi negara dimana pacarnya berada. Tapi pada kali itu, ia sial karena alasan Visa ia tidak diperbolehkan pergi ke negara sang pacar berada. Kesedihan pun menghampiri, ia tentunya menangis terus-menerus dan tidak menerima apa yang terjadi padanya. Namun, selama ia merasa sedih dan patah hati ia banyak belajar mengenai dirinya sendiri, kesalahan apa yang ia buat. Menurut Emma kesedihan dan patah hati menjadikan dirinya sepenuhnya dan seutuhnya mengarahkan ia untuk memiliki kehidupan yang lebih baik dan kehidupan yang ia inginkan.
Selaras dengan apa yang disampaikan oleh Emma, Cain menyampaikan di dalam bukunya bahwa kesedihan merupakan bentuk yang menggerakkan seluruh kemampuan yang ada di dalam diri kita untuk menjadi lebih baik. Berkaitan dengan hal ini, berapa banyak dari kalian yang mengalami putus cinta, gagal nikah, kehilangan pekerjaan, kehilangan orang yang kalian sayangi? Mendapati diri kalian bersedih, ada hal yang dapat kalian kenang dan dapat kalian pelajari. Ada hal baru yang datang, tumbuh dan hidup. Selain itu, Cain juga menampilkan berdasarkan penelitian bahwa orang yang menulis perasaan sedihnya atas peristiwa yang dialaminya secara jujur di dalam sebuah buku, maka akan lebih cepat mendapatkan apa yang ia inginkan dibandingkan orang yang mencoba untuk menutupi perasaan sedihnya.
Sama halnya dengan the unstoppable power of letting go yang merupakan favoritku yang disampaikan oleh Sherer Murray dalam acara TEDXWilmingtonWoman, ia harus berpisah dengan pacarnya yang selama sembilan tahun bersamanya, yang selalu mengatakan, “belum sekarang” terkait dengan pernikahan pada saat ia berusia 41 tahun. Tentunya hal itu menjadi ketakutan dan kesedihan ketika ia harus melepaskan apa yang ia punya dan membangun suatu hal yang ia inginkan. Perjalanan yang ia jalani memang tidak mudah, tetapi pada akhirnya ia berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia akhirnya menikah dua tahun kemudian, ia membeli kondominium dan memulai pekerjaan yang baru.
Jika kalian bertanya padaku apakah aku telah menerima kesedihan secara utuh? Maka aku akan menjawab masih dalam proses belajar. Tulisan ini dimaksudkan untuk menerima kesedihan yang datang kepada kita dan melihat hal positif yang dapat kita pelajari. Aku juga mengajak untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Upayakan menyeimbangkan antara sedih dan senang tanpa harus menitikberatkan pada salah satunya. Ketika sedih harus menerima, setelah selesai coba untuk senang, merasa bersyukur kembali dan begitu seterusnya. Tulisan ini aku tutup dengan kalimat yang pernah kakak perempuanku kirimkan padaku ketika aku berada di waktu yang sangat sulit dan bersedih atas kehilangan. Semoga kalimatnya dapat membantu mengingatkan kalian juga.
“Langit tidak akan gelap selamanya, malam tidak akan selamanya malam. Pasti akan ada cahaya dan bahkan pelangi yang lebih bersinar untukmu.”
[1] https://www.halodoc.com/artikel/jangan-salah-inilah-penjelasan-tentang-dopamin
Comments