top of page

Pandangan Pernikahan Dari Buku Bukannya Aku Nggak Mau Menikah

Hallo Semua! Bagaimana kabarnya? Aku harap kalian selalu baik-baik saja ya! Kali ini aku akan membahas salah satu buku terjemahan dari Korea Selatan berjudul, "Bukannya aku nggak mau menikah" karya Lee Joo Yoon. Hayo! Teman-teman kalau ada pembahasan “pernikahan” pastinya pada fokus nih.



Mungkin ada pertanyaan dari kalian; “kenapasih aku membaca buku ini?” “emang buku tersebut aku banget gitu ya sampe beli?” Jadi, aku berada di salah satu toko buku yang berlokasi di jakarta, jari-jariku sedang asyik menyelusuri buku-buku yang ada di rak self-improvement, lalu tiba-tiba terhenti karena pandanganku tertuju kepada buku yang memiliki cover simpel dan sederhana beralatar belakang putih dengan ilustrasi seorang wanita yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya sembari menatap layar monitor Handphone dan berujar, "aku cuma kesal ditanya kapan menikah melulu"


Melihat ilustrasi dengan kalimat tersebut aku langsung tuh bergumam di dalam hati “Kalimat itu kayaknya merepresentasikan perasaan sepupu aku, kakakku, teman-temanku bahkan aku pun yang baru disambut oleh usia 25 mendapati hal yang sama. Kemudian aku membalikan buku tersebut agar aku bisa membaca sinopsisnya,


"Pernah mendengar nasihat supaya menikah karena kamu perempuan di atas 25 tahun dengan kehidupan yang baik-baik saja menurut standar kamu tetapi belum menikah? Sepertinya buku yang sedang kamu pegang ini adalah pilihan yang tepat buatmu. Bukannya Aku Nggak Mau Menikah adalah kumpulan kisah keseharian penulisnya, Lee Joo Yoon. Mulai dari desakan orang tua agar dia segera menikah, teori cocoklogi tentang kenapa para kerabat jauh hobi bertanya, '"kapan menikah" sampai penjelasan agak ilmiah tentang tempramen seseorang sering dikaitkan dengan status belum menikah, semua ditulis Joo Yoon dengan gaya ugal-ugalan. Kata-katanya lugas dan apa adanya mungkin terdengar blak-blakan dan terasa seperti tamparan keras atau sindiran sinis, tapi bisa jadi malah membuat kita serasa bercermin atau bahkan bak mendapatkan puk-puk hangat di pundak"


Setelah membaca sinopsinya, sedikit banyak aku menangkap apa yang disampaikan oleh penulis namun belum mengetahui bagaimana pandangan dan penyampaiannya. Dengan tanpa keraguan aku membeli buku tersebut seharga Rp 90.000,00 (Sembilan Puluh Ribu Rupiah). Buku Bukannya Aku Nggak Mau Nikah diterbitkan pada bulan November tahun 2021, diterjemahkan dari bahasa Korea ke bahasa Indonesia, dicetak oleh PT Grafika Mardi Yana Bogor, dengan halaman sebanyak 272.


Aku tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan buku tersebut hanya dalam 2 hari. Aku sangat menikmati membaca buku Bukannya Aku Nggak Mau Nikah. Penyampaian sangat mudah dipahami karena bahasanya lugas seperti penulis seolah-olah memang menceritakan apa yang dirasakannya jadi aku seperti masuk dan menyelami dunia si Penulis.


Setelah menyelesaikan buku tersebut, ada beberapa hal yang jadi perhatian.


1. Urgensi Pernikahan Yang Mungkin Terjadi Di Berbagai Belahan Dunia Yang Tidak Kita Ketahui


Singkat cerita membahas pernikahan aku teringat ketika aku masih berusia sekitar 20 tahun dimana aku sibuk dengan urusan kuliahku dan tidak begitu memperdulikan tentang pernikahan, namun berbeda sepupu-sepupuku yang telah memasuki usia yang dianggap “cukup” secara legalitas dan secara biologis. Mereka akan sering mendapatkan pertanyaan, “kapan menikah?” atau “Sudah punya pacar belum?”pokoknya seliput dengan ranah privasi, kehidupan asmara yang berujung dengan pernikahan. Pada saat itu melihat mereka mendapati pertanyaan yang bertubi-tubi dan tidak tahu harus jawab apa, aku hanya tertegun dan bingung, tidak jarang juga ada yang langsung menjawab dengan ketus, “nanya nikah mulu.” Jika ada yang sudah menjawab dengan ketus aku akan menghampiri dengan keinginan tahu yang tinggi aku bertanya, “kenapa sih kak?” mereka hanya akan menjawab, “nanti juga ngerasain kalau belum nikah.” Tidak dapat dipungkiri, apa yang terjadi kepada sepupu-sepupuku, terjadi kepada kakak perempuanku, terjadi juga di beberapa orang yang aku temui baik teman sepermainan, rekan kerja dan seperti yang aku telah singgung di atas bahwa aku telah disambut dengan pertanyaan serupa tidak lain ranah privasi.


Secara sempit dan linear serta berdasarkan aku tinggal dan besar di Negara tercinta, Indonesia aku berasumsi bahwasannya urgensi pernikahan hanya terjadi di Indonesia saja ternyata setelah membaca buku Joo Yoon, berdasarkan pengalamannya sendiri yang tinggal di Korea Selatan, dapat aku tarik kesimpulan bahwasannya urgensi pernikahan dapat terjadi di berbagai belahan dunia yang kita belum tahu.


Joo Yoon, bercerita bahwasannya ibunya menelfon setiap hari dengan pertanyaan yang sama setiap harinya seperti "bagaimana telah bertemu seseorang?" "Tidak keluar dan bertemu seseorang?" "Bagaimana kau mau bertemu dengan jodoh jika hanya diam di dalam." Selain ibunya, ayahnya pun melakukan hal yang serupa. Tidak hanya sekedar pertanyaan, nasihat, perjodohan, pencarian jodoh bahkan kawin paksa pun akan dilakukan oleh kedua orang tuanya agar Joo Yoon yang memasuki usia di atas 30 tahun dapat segera menikah.


Jadi, setelah ini jika memang mendapati desakan, pertanyaan dan yang lainnya berurusan dengan pernikahan aku rasa kita harus berlapang dada dan menerima bahwasannya mungkin bukan di Indonesia saja urgensi pernikahan terjadi namun di luar sana pun akan terjadi.

2. Pantes Belum Nikah Karena Sensittif


Nah, sering tidak sih kalian mendengar kalimat yang dikaitkan atau pernah tidak kalian mendengar seseorang berujar seolah-olah mereka tahu apa yang dilalui orang lain, semisal, “pantes ya kamu gendut, kamu makannya banyak gimana mau kurus ngemil terus dari tadi!” “pantes ya kamu kurus setiap makan segitu aja gak abis,” dan yang lainnya. Sama halnya dengan, “pantes belum menikah karena sensitif sih.”


Sebenarnya, kalau difikir-fikir belum menikah seseorang itu kan tidak hanya dinilai dari sensitifitas atau kekurangan yang dimiliki karena menurut aku pribadi banyak hal yang mempengaruhi seseorang belum menikah yang memang alasannya seperti belum menikah karena masih terkendala masalah finansial, belum menikah karena belum berani mengulang masa lalu menjalin hubungan dengan seseorang yang membuatnya tidak percaya, belum menikah karena merasa belum siap, belum menikah karena dirasa belum menemukan seseorang yang sesuai dengan apa yang diinginkan. Ngomong-ngomong menurut pandangan Joo Yoon, semakin sensitif itu dikarenakan semakin bertambah usia maka semakin akan memikirkan tentang dirinya sendiri tidak lagi memikirkan bagaimana perasaan orang lain jadi dalam hal ini terkesan arogan dan berterus terang.


Membicarakan mengenai “diri kita” terlebih dahulu aku teringat penyampaian “Select the right relationship” di TEDX yang disampaikan oleh Alexandra Redcay, dia menyampaikan bahwasannya yang memang harus dipentingkan adalah diri kita terlebih dahulu, singkirkan untuk memikirkan atau menimbang, “apahkah dia suka” tapi tanyakan hal tersebut kepada diri kita terlebih dahulu bukan bagaimana orang lain harus menerima kita tetapi bagaimana kita menerima orang lain.


Jadi, pemikiran Joo Yoon mengenai sensitif dan korelasinya dengan pernikahan mungkin teman-teman dapat dijadikan sebagai bahan pertimbahan dan pemahaman selain itu kenali dan ketahui dulu ya mengapa seseorang belum menikah jangan langsung menjustifikasi!



3. Cinta Atau Uang ?


Seorang temanku pernah menyinggung mengenai alasan pengajuan gugatan percerain yang diajukan ke Pengadilan, pada saat itu aku langsung menebak bahwa alasan utama seorang mengajukan gugatan perceraian karena adanya perselingkuhan namun ternyata jawabanku salah ketika temanku mengatakan alasan utama yang paling dominan adalah "ekonomi."


Pada saat itu aku berfikir, "kenapa ekonomi sebagai alasan yang paling dominan atas perceraian." Tidak dapat dipungkiri memang hubungan yang dijalin seorang dewasa tidak hanya kepada soal cinta-cintaan tetapi tentunya di sana ada tanggung jawab. Apalagi pernikahan yang memang memikirkan tidak sendiri tetapi berdua, bukan saja dirinya tetapi pasangannya, bagaimana biaya kehidupan sehari-hari. Lambat laun aku berfikir bahwasannya, mungkin itu yang menjadikan salah satu rekan kantorku yang lama tetap akan mempertimbangkan finansial seorang yang sedang dikencaninya, melihat pekerjaannya apa, sudah lama bekerja, apa yang dimilikinya selama bekerja.


Terdengar arogan dan materialis namun terdengar naif juga jika kita tidak memungkiri bahwasannya pasti akan melibatkan persoalan uang di dalam hubungan. Tidak usah jauh membahas pernikahan, pada saat kencan juga kita pasti ingin membuat pasangan kita bahagia dengan membelikan makan, minum, hadiah dan yang lain. Pasti ada juga keluhan jika satu pihak sering membiayai satu pihak lainnya.


Hal tersebut sama dengan yang disampaikan Joo Yoon di dalam bukunya, membahas kisah asmara tentunya sekarang juga tidak hanya sekedar rasa cinta namun yang dimaksud adalah bagaimana ke depannya bersama, apakah seorang tersebut memiliki kapabilitas secara finansial bersanding. Pernikahan selanjutnya yang disampaikan oleh Joo Yoon juga perlu menjadi pertimbangan, pertama membutuhkan finansial yang stabil, persiapan untuk pernikahan, resepsi, sewa Gedung, dan rencana akan tinggal dimana setelahnya pun menjadi hal yang memang wajib dipertimbangkan.


4. Kalau Kebahagiaanmu Apa ?


Di dalam buku tersebut memang tidak menanyakan tentang kebahagiaan, namun menjadi sebuah pertanyaan yang dapat dialektika. Seperti pertanyaan seperti, “kamu miskin karena kamu atau terlahir sebagai orang miskin?” aku rasa tidak akan memperpanjang pertanyaan yang terkesan radikal sampai dengan ke dasar.

Membahas soal pernikahan di dalam buku, Joo Yoon selalu mendapatkan perintah untuk segera menikah dia juga sering mendengar apa yang disampaikan ayahnya seperti, “kebahagiaanku hanyalah melihatmu menikah, jika kau tidak menikah bagaimana aku bisa bahagia” atau jika kakak pertama Joo Yoon yang tidak ingin memiliki seorang anak maka ayahnya akan menyampaikan, “kebahagiaanku melihatmu memiliki seorang anak” menurut pandangan Joo Yoon apa yang dikatakan oleh ayahnya adalah kebahagian ayahnya bukan kebahagiaan dirinya. Menurutnya kebahagiaan dirinya adalah dapat membeli sebuah apartemen mewah, dapat minum di suatu bar yang mewah, dan lain sebagainya.


Memang, terlihat sedikit anti main-stream apa yang disampaikan oleh Joo Yoon lantas aku teringat film The Escape (2017) yang diperankan oleh Gemma Arterton, ketika dia memiliki hidup yang menurut orang lain sudah sangat Bahagia dan tidak masalah, memiliki suami yang tampan dan sayang dengan dirinya, kehidupan tercukupi dan memiliki anak-anak yang menggemaskan namun ada suatu momen ketika dirinya menyampaikan bahwa, “I am not happy”.


Sebenarnya bukan hanya tentang pernikahan saja sih yang dimaksudkan, tetapi sebenarnya tentang apa yang kita mau dan membuat kita Bahagia. Joo Yoon juga menyinggung bahwasannya "pernikahan bukan perlombaan" mungkin kita sudah sering mendengar bahwasannya pernikahan bukan perlombaan, jika si A sudah menikah lantas kita harus menikah dengan segera dengan terburu-buru tanpa tahu apa yang kita inginkan. Dia juga menyinggung bahwasannya setiap orang tidak harus sama memiliki garis finish atau garis akhirnya adalah pernikahan.


Secara keseluruhan aku dapat mengatakan bahwa penulis adalah seorang yang memiliki pandangan yang berbeda, dia tahu apa yang dia mau dan dia mengenali dirinya sendiri. Namun, aku juga tidak dapat mengatakan bahwa semua hal yang disampaikannya adalah benar karena semuanya itu kembali lagi kepada pandangan diri masing-masing. Aku akan merekomendasikan buku ini sebagai buku yang diperlukan untuk mengajak berdiskusi dan berdialektika tentang pernikahan. Selamat membaca!



ความคิดเห็น


Post: Blog2_Post

©2018 by ItsHoliness. Proudly created with Wix.com

bottom of page